Minggu, 18 Agustus 2013

SEJARAH PENDIDIKAN ISLAM PADA MASA ORDE BARU



BAB  I

PENDAHULUAN

Pendidikan Agama Islam (PAI) merupakan  pendidikan yang mengajarkan tentang akhlak mulia serta membentuk dan mengarahkan kepribadian baik dan benar. Di samping itu, Pendidikan Agama Islam adalah salah satu alat pembudaya manusia itu sendiri. Di mana Pendidikan Agama Islam mencakup segala bidang kehidupan manusia di mana manusia mampu memanfaatkan sebagai tempat menanam benih amaliah di akhirat nanti, maka pembentukan sikap dan nilai amaliyah islamiyah dalam pribadi manusia baru dapat efektif bilamana dilakukan melalui proses pendidikan yang berjalan di atas kaidah agama Islam.[1]
Dalam hal ini kaitannya dengan perkembangan Pendidikan Agama Islam di Indonesia, khususnya pada masa Orde Baru penulis akan membahas bagaimana konsep dan kebijakan – kebijakan yang dimiliki pada masa itu.

 

BAB  II
PEMBAHASAN


A.    Pengertian

1. Pengertian sejarah pendidikan Islam :[2]
                       i.      Sejarah, secara bahasa : tarih ( ketentuan masa ), history.
Secara istilah : keterangan yang telah terjadi dikalangannya pada masa yang telah lampau atau pada masa yang masih ada.
                     ii.      Pendidikan, adalah : aktivitas dan usaha manusia untuk menambahkan dan mengembangkan potensi-potensi pembawaan baik jasmani maupun rohani sesuai dengan nilai-nilai yang ada didalam masyarakat dan kebudayaan.
                   iii.      Islam secara bahasa : tunduk atau patuh.
Secara istilah : melaksanakan syari’at Allah yang dibawa oleh Rasulullah SAW untuk keselamatan didunia dan akhirat.
Jadi sejarah pendidikan Islam adalah : cabang ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam, baik dari segi ide dan konsepsi maupun segi institusi dan operasionalisasi sejak zaman Nabi Muhammad SAW sampai sekarang.

B.     Konsep Pendidikan Islam Pada Zaman Orde Baru

Berdasarkan UU No. 2 / 1989 makna satu-satunya dari “Pendidikan Agama Islam” adalah sebagai salah satu bidang studi pendidikan yang bersama-sama dengan Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan menjadi kurikulum wajib bagi setieap jenis, jalur dan jenjang pendidikan ( pasal 39 (2) ). Sedangkan istilah “Pendidikan Islam” tidak dikenal dengan UU tersebut, karena lembaga pendidikan yang berciri agama, yang di Indonesia tidak terdapat, baik sekolah maupun luar sekolah, ( termasuk pondok ) harus tetap mengacu pada sistem pendidikan nasional. Jadi, kalaupun suatu lembaga pendidikan menjadikan Islam sebagai landasan sistemnya, harus tetap dalam konteks ke – Indonesiaan yang bentuk konkritnya harus dilengkai dengan Pendidikan Pancasila.
Memang dalam UU No. 2 / 1989 tidak terdapat ketentuan bahwa kurikulum pendidikan luar sekolah harus mengikuti pendidikan sekolah, namun Pancasila dengan P4-nya telah menjadi konsensus bangsa Indonesia sebagai ideologi dan falsafah hidup, maka secara moral seluruh satuan pendidikan hendaklah mengacu pada cita-cita nasional, sehingga keberadaannya akan membantu pemerintah dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Ini sesuai dengan UU No. 2 / 1989 pasal 39 (2) : “Isi kurikulum setiap jenis, jalur dan jenjang pendidikan wajib memuat : a) Pendidikan Pancasila; b) Pendidikan Agama dan c) Pendidikan Kewarganegaraan”. Sedangkan jalur pendidikan ada            2 macam : jalur pendidikan sekolah dan jalur pendidikan luar sekolah ( pasal 10 ayat 1 ).[3]
Makna lain dari pendidikan Islam adalah sebagai ilmu, yang umumnya dikembangkan dalam Fakultas Tarbiyah baik negeri ( IAIN ) maupun swasta, yaitu sebagai “Ilmu Pendidikan Islam” yang meliputi : Sejarah Pendidikan Islam, Teori Pendidikan Islam dan Filsafat Pendidikan Islam.
  1. Lembaga Pendidikan Pada Masa Orde Baru
Nomeclatur bagi lembaga pendidikan berciri khas agama Islam yang selama ini digunakan adalah “Perguruan Agama Islam” sebagaimana terlihat dari nama instansi yang mengelola lembaga tersebut, yaitu “Direktorat di bawah Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam dengan diundangnya UU No. 2 / 1989, maka nama itu diubah menjadi “Lembaga Pendidikan Keagamaan” yang bagi Islam adalah sangat wajar apabila ditambah kata “Islam” di belakangnya. Namun penamaan ini membawa konsekuensi “penciutan” terhadap maknanya, karena apabila sebelum adanya undang-undang tersebut yang termasuk ke dalam Perguruan Agama Islam adalah :
1.      Raudhat Al-Athafal / Bustan Al-Athfal ( Taman Kanak-Kanak Islam ), Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah sebagai jalur pendidikan formal, dan
2.      Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah sebagai lembaga pendidikan non formal.
Maka dengan adanya UU No. 2 / 1989 terdapat berbagai perubahan antara lain :
  1. Kelompok yang pertama di atas sekarang dinamakan jalur “pendidikan sekolah” kecuali tingkat taman kanak-kanak yang termasuk ke dalam pendidikan “pra sekolah” sedangkan yang kedua disebut “jalur pendidikan luar sekolah”.
  2. Dengan adanya PP. No. 28 / 1990, No. 29 / 1990 ( sebagai pelaksanaan UU no. 2 / 1989 ) dan dipertegas oleh Kep. Mendikbud nomor 0487 / U / 1989, No. 054 / U / 1993 dan 0489 / U / 1992, maka keduudkan Madrasah Ibtidaiyah adalah sebagai “SD yang berciri khas Agama Islam yang diselenggarkaan oleh Departemen Agama”, demikian juga Madrasah Tsanawiyah dan Aliyah, masing-masing sebagai “Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama ( SLTP ) dan Sekolah Menengah Umum ( SMU ) yang berciri khas Agama Islam yang diselenggarakan oleh Departemen Agama”. Selanjutnya dipertegas lagi, bahwa Madrasah Ibtidaiyah wajib memberikan bahan kajian sekurang-kurangnya sama dengan SD di samping bahan kajian lain yang diberikan berdasarkan ketentuan yang berlaku” ( Kep. Mendikbud No. 0487 / 1992 pasal 19 ). Demikian juga Madrasah Tsanawiyah dan Aliyah “wajib memberikan bahan kajian sekurang-kurangnya sama dengan SLTP dan SMU di samping dengan bahan kajian lain yang diberikan pada madrasah tersebut” ( Kep. Mendikbud No. 054 / U / 1993 pasal 20 dan Kep. Mendikbud                  No. 0489 / U / 1992 pasal 20 ).[4]
Dengan demikian, jelas bahwa kini yang dinamakan “Perguruan Agama Islam” dalam arti tradisional hanya ada satu, yaitu yang bernama “Pendidikan Keagamaan” dan hanya satu jenjang yaitu pendidikan menengah. Dan menurut PP No. 29 / 1990 pasal 3 (3) disebutkan : “Pendidikan Menengah Keagamaan mengutamakan penyiapan siswa dalam penguasaan pengetahuan khusus tentang ajaran agama yang bersangkutan”. Selanjutnya pasal 4 (3) menyatakan bahwa penamaan Sekolah Menengah Keagamaan ditetapkan oleh Menteri Agama setelah mendengar pertimbangan dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.
Sekolah semacam itu ada pada waktu ini adalah Madrasah Aliyah Program Khusus ( MAPK ) dengan pertimbangna jam pelajaran agama : Umum      ( 65 % ) dan Agama ( 35 % ). MAPK ini merupakan pengembangan dari program ilmu-ilmu agama ( jurusan ilmu agama ) pada Madrasah Aliyah dengan perbandingan antara pelajaran agama dengan umum 98 : 142 atau 41 % : 59 % . Karena tamatan jurusan ini ternyata kurang berkompeten untuk memasuki IAIN, maka dikembangkan menjadi MAPK yang dari pengalaman penerimaan para tamatannya ke IAIN Walisongo memang menujukkan adanya kemampuan yang lebih baik. Jadi dapat kita katakan bahwa MAPK – lah yang kini merupakan satu-satunya bentuk Sekolah Menengah Keagamaan Islam yang murni, yang juga terbuka bagi masyarakat untuk mendirikannya. Dan dengan tidak mentuup kemungkinan para tamatannya untuk memasuki jenjang pendidikan tinggi umum dengan menempuh ujian akhir Aliyah atau SMU secara individu diharapkan siswa MAPK ini merupakan sumber daya calon-calon mahasiswa IAIN.
  1. Perbedaan Lembaga Pendidikan Agama dengan Sekolah Umum
Masalah lain dalam kaitan ini adalah lembaga-lembaga pendidikan Madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah dan Aliyah yang kini tidak lain smaa dengan SD, SLTP dan SMU Islam ( atau SD, SLTP dan SMU Dep. Agama ), sesuai dengan label “berciri khas agama Islam” dituntut untuk menunjukkan kekhasan cirinya itu. Dalam kaitan ini Direktur Pembinaan Perguruan Agama Islam Depaq menyatakan bahwa “ciri khas agama Islam ini akan diformulasikan dalam kegiatan intra dan ekstra kurikuler”. Fomulasi dalam bentuk intra kurikuler akan berupa penjabaran mata pelajaran pendidikan agama di SD / SLTP / SMU                ke dalam mata pelajaran-mata pelajaran seperti Al-Qur'an, Hadits, Aqidah, Akhalk, Fiqh, Sejarah Islam dan Bahasa Arab. Waktu yang disediakan diperkirakan akan lebih kecil dibandingkan dengan waktu yang tersedia dalam kurikulum madrasah yang sekarang.[5]
Memang pandangan sepintas memberikan kesan adanya “dualisme” dalam sistem pendidikan nasional, karena dua lembaga pendidikan yang hakikatnya sama, dikelola oleh dua departemen yang notabene sama-sama pemerintah. Namun apabila melihat latar belakagn historis maupun kultural, khususnya tentang peran lembaga pendidikan Islam, dalam perjalanan sejarah pendidikan Indonesia, status demikian bagi madrasah-madrasah tersebut merupakan satu “bentuk kearifan” dari kondisi obyektif di Indonesia saat ini yang menggambarkan adanya kemajemukan dalam kesatuan ( Bhinneka Tunggal Ika ) dalam sistem pendidikan. Dengan demikian, ide tentang sistem dan sub-sistem dalam pendidikan di Indonesia tetap terjamin.
  1. Orientasi Pendidikan Agama
Selanjutnya terdapat sedikit perbedaan orientasi tamatan Madrasah Aliyah dalam melanjutkan pendidikannya ke pendidikan tinggi  dibandingkan sistem pendidikan Madrasah sebelumnya. Apabila MAPK terutama berorientasi                   di IAIN, maka tamatan Aliyah adalah terutama berorientasi ke perguruan tinggi umum, dengan tidak tertutup kemungkinan ke IAIN tergantung kepada kemampuan individual.
Khusus IAIN, baik UUSPN maupun PP 30 / 1990 tidak menyebutkan sebagai jenis pendidikan tinggi khusus sebagaimana Madrasah. Namun, apabila dilihat dari tujuan dan keahlian yang ingin dicapai oleh pendidikan ini, baik akademik maupun profesional, maka analog dengan pendidikan mengenah, cukup alasan untuk memasukkan IAIN ke dalam kategori “Pendidikan Tinggi Keagamaan” yang dikelola oleh Departemen Agama walaupun secara akademik harus mengacu pada ketentuan yang ditetapkan oleh Depdikbud ( UUPSN pasal 12 dan 19 ). Karena peraturan khusus tentang IAIN belum ada, menurut hemat penulis, di samping status yang sampai sekarang juga belum keluar, masih diperlukan adanya peraturan khusus, baik berbentuk PP ataupun Keputusan Menteri.
Tentang Pondok Pesantren sebagai jalur pendidikan keagamaan luar sekolah, yang kini berperan sebagai “mitra” sekolah telah banyak dibahas baik dalam forum pertemuan ilmiah sebagai salah satu proyek pembangunan bidang agam aoleh Depag, yaitu proyek Pembangunan dan Bantuan kepada Pondok Pesantren. Lewat proyek ini telah dimasukkan pendidikan ketrampilan, antara lain penjahitan dan perajutan, administrasi dan manajemen, pertukangan, pertanian, peternakan, bahkan juga fotografi ( Abdurrahman Saleh, et.al., 1978 ).
Pondok Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia memiliki ciri-ciri khas yang membuat Pesantren tetap survise yaitu : semangat percaya diri sendiri, mandiri, sederhana dan rasa solidaritas ( ukhuwah ) yang tinggi ( H.M. Yusuf Hasyim, 1987 ). Ciri-ciri yang demikian, pada hakikatnya juga merupakan ciri-ciri manusia yang diharapkan oleh pendidikan nasional yang diformulasikan ke dalam konsep “manusia seutuhnya”. Beberapa prinsip lain yang diajukan Mastuhu ( 1987 ) adalah wisdom ( kearifan ) sebagai tujuan yang akan dicapai ( meskipun apabila berlebihan dapat menjauhkan santri dari kehiduan riil ), kebebasan yang terpimpin ( oleh kyai ), self-government                   ( mengatur diri sendiri secara kolektif ), hubungan kyai, guru, santri dan masyarakat yang mesra dan ibadah ( bahwa semua aktivitas di Pondok adalah dalam rangka ibadah kepada Allah ).
Dari berbagai penelitian dan pengamatan para pakar, ada ciri khas lain yang menonjol, yaitu peran “kyai” pemilik / pimpinan pondok dengan kharismanya yang sangat dominan, yang merupakan unsur utama dan pertama dari suatu Pondok Pesantren. Hal ini karma otoritas keagamaan yang dimilikinya dan moral yang tinggi sebagai “bapak”, penasehat dan contoh kepribadian                    ( uswah khasanah ) dan lebih penting lagi dipercaya sebagai “pewaris Nabi” yang bisa memberikan barokah kepada sekelilingnya ( Wolfgang Krocer, Abdurrahman Wahid, 1988 ).
Kepemimpinan kharismatis yang demikian, ternyata bisa menjadi kendala bagi upaya pengembangan suatu pondok, karena dengan meninggalnya seorang kyai pimpinan pondok, pondok tersebuSt mengalami semacam krisis kepemimpinan. Krisis ini akan dapat diatasi apabila sang kyai mempunyai anak / keturunan yang setaraf dengan kharismanya ( Sudjoko Prasojo, 1975 ). Atas dasar ini maka diperlukan adanya upaya untuk lebih menjadikan kepemimpinan pondok lebih bersifat “rasional / demokratis” agar kesinambungannya lebih terpimpin.
Dalam kaitannya dengan pembangunan dan pendidikan nasional, maka lembaga pendidikan luar sekolah yang sebagian besar terletak di pedesaan ini diharpakan mampu berperan sebagai agent of development khususnya bagi masyarakat pedesaan sebagaimana yang kini telah banyak ditunjukkan oleh banyak pondok seperti Darul Falah di Jawa Barat, Pabelan di Jawa Tengah dan An-Nuqayyah di Jawa Timur. Untuk ini sekalipun masih ada kendala sebagaimana yang ditunjukkan oleh Dr. Hiroko Horikoshi ( di Jawa Barat ) terhadap perubahand an mempertahankan kedudukan yang berpengaruh dalam sistem tradisional. Akan tetapi, menurut Krocher ( 1988 ) bahwa “pesantren telah menunjukkan penyesuaian mereka dengan perubahan sosial, dengan menerima inovasi-inovasi secara hati-hati dan mengintegrasikannya ke dalam kerangka kerja yang ada dalam keharmonisan dengan tradisi-tradisi Jawa Kuno – dengan menerima pengaruh asing tanpa melepaskan diri secara drastis dari keyakinan dan praktik sebelumnya”. Yang jelas adalah bahwa kini kebanyakan Pesantren telah membuka madrasah, dari jenjang Ibtidaiyah bahkan sampai Perguruan Tinggi, sehingga kebanyaka mereka sesungguhnya telah masuk ke dalam pola pendidikan sekolah. Dan karena materi utamanya adalah ilmu-ilmu agama Islam, akan lebih mudah untuk mewujudkan pendidikan keagamaan semacam MAPK.
Satu hal lagi yang ada di Pesantren yaitu bahwa masalah “dikotomi” yang ada di sekolah-sekolah umum ( bahkan juga di beberapa Madrasah ), tidak kita jumpai di Pesantren yang dapat mengintegrasikan pelajaran ( agama dan umum ) ke dalam kehidupan mereka sehari-hari. Ini juga berakibat terbukanya sistem belajar yang luas dan fleksibel, karena pada hakikatnya semua aktifitas               sehari-hari di Pesantren yang memacu kehidupan mandiri itu adalah belajar ( Wolfgang Karcher, log.cit ). Dalam kaitan ini, pimpinan Pondok modern Gontor pernah mengatakan kepada penulis waktu berkunjung ke sana, bahwa “kurikulum di Pesantren ini 100 % agama dan 100 % pengetahuan umum”.
Dengan adanya uluran tangan Prof. Habibie yang menawarkan pemasukan teknologi ke dalam Pondok Pesantren dan dengan beberapa inovasi yang diperlukan, kiranya potensi Pondok Pesantren dapat dikembangkan secara optimal.

B.  Dampak Konsep Yang Dihasilkan Oleh Zaman Orde Baru

Apabila kita berbicara mengenai pendidikan Islam maka kita akan membicarakan mengenai pesantren dan madrasah. Menurut para pakar pendidikan Islam bentuk pendidikan yang indigenous adalah pesantren yang telah hidup dan berada di dalam budaya Indonesia sejak zaman prasejarah yang kemudian dilanjutkan pada masa Hindu-Budha dan diteruskan pada masa kebudayaan Islam. Madrasah adalah bentuk pendidikan klasikal yang masuk                ke Indonesia sejalan dengan arus modernisasi Islam. Pesantren yang mempunyai pengertian archaic, juga mempunyai konotasi kemasyarakatan, bahkan suatu kesatuan ekonomis dan mungkin pula politik selain daripada suatu masyarakat pendidikan dengan nuansa agama. Madrasah juga lebih berkonotasi kepada cara penyampaian ilmu maupun agama secara klasikal dan lebih modern. Namun keduanya mempunyai kesamaan yaitu telah tumbuh dan dimiliki oleh masyarakat sekitar terutama di daerah pedesaan karena pengaruh historis. Oleh sebab itu pendidikan pesantren dan madrasah cenderung bersifat tradisional dan ortodoks sungguh pun tidak selalu benar sebagaimana yang kita lihat di dalam perkembangan pesantren modern seperti Pesantren Tebuireng.
Pesantren dan madrasah adalah milik kebudayaan Indonesia. Dan oleh karena pendidikan adalah sebenarnya merupakan gagasan kebudayaan, maka mendidik berarti pula menggagas kebudayaan masa depan. Di sinilah letaknya arti pesantren di dalam membangun kebudayaan masa depan. Seperti Malik Fadjar mengatakan gelombang peradaban masa depan merupakan satu kesatuand ari gejolak magma cultural dari dalam dan kekuatan globalisasi yang menerjang dari luar. Kehidupan pesantren masa depan tidak terlepas dari kedua gelombang peradaban ini. pendidikan pesantren akan survise dan menjadi pendidikan alternatif dari masyarakat Indonesia apabila dia peka terhadap gelombang peradaban tersebut. Oleh karena itu perlu kita kaji apa yang merupakan kekuatan dan kelemahan dari pendidikan pesantren dan madrasah.

 1.   Kelebihan Pendidikan Islam : Pendidikan Yang Lahir Dari Masyarakat


Dalam era reformasi dewasa ini dan sejalan dengan gelombang demokratisasi di dunia dan di Indonesia maka kita berbicara mengenai tuntutan hak rakyat termasuk pendidikan. Demokrasi hanya akan lahir dan berkembang apabila rakyat diberdayakan dan masyarakat ikut serta di dalam memberdayakan diri sendiri. Pesantren adalah suatu sistem kehidupan yang lahir dan dibesarkan dalam suatu masyarakat. Pesantren telah lahir di dalam suatu masyarakat demokratis. Oleh sebab itu pesantren sebenarnya dikelola oleh masyarakat yang memilikinya. Meskipun di dalam perkembangannya pengelolaan pesantren banyak ditentukan oleh para kiai sebagai pemiliknya, namun tidak dapat disangkal bahwa kehidupan pesantren telah ditopang dan dibesarkan oleh masyarakat yang memilikinya.
Apabila dewasa ini kita berbicara mengenai inovasi pendidikan nasional untuk melahirkan pendidikan yang dikelola oleh masyarakat                ( community – based management ( CBM ) maka pesantren merupakan model archaic dari pendidikan tersebut. Sudah tentu prinsip-prinsip manajemen modern perlu diterapkan di dalam pola pendidikan yang berdasarkan manajemen masyarakat. Pada akhirnya community – based management dari pendidikan akan bermuara kepada manajemen sekolah ( school – based management ( SBM ) atau manajemen madrasah yang berarti pengelolaan lembaga pendidikan madrasah adalah pengelolaan yang otonom yang mengimplementasikan aktivitas dan kreativitas para pengelolanya baik kepala sekolahnya maupun para gurunya di dalam melaksanakan misi sekolah. Tentunya manajemen pendidikan CBM dan SBM menuntut para pengelola yang mempunyai pandangan yang luas serta menguasai teknik-teknik manajemen modern, termasuk manajemen sekolah.

2.   Kelemahan : Cenderung Kepada Ortodoksi


Apabila kita teliti kekuatan dari pendidikan pesantren dan madrasah justru disitulah pula terletak kelemahannya. Dalam perjalanan sejarah, sistem pendidikan pesantren dan madrasah telah terlempar dari mainstream pendidikan baik pada masa kolonial, masa pendudukan Jepang, maupun pada masa kemerdekaan. Kelemahannya terletak kepada keunikannya bahwa pesantren dan madrasah tumbuh dari bawah, dari masyarakat sendiri.                   Di dalam pertumbuhannya tersebut yang hidup dari kemampuan sendiri                 di tengah-tengah masyarakat yang miskin sudah tentu perkembangan pendidikan pesantren dan madrasah berada di dalam kondisi yang serba sulit. Keadaan ini pula yang telah melahirkan suatu defense mechanism untuk mengungkung diri dari pengaruh luar. Kecurigaan yang berlebihan menyebabkan isolasi dan menolak perubahan. Isolasionisme ini juga diperkuat lagi dengan sifat keragaman dari pendidikan pesantren dan madrasah. Pengelolaan pesantren dan madrasah yang berorientasi kepada masyarakat telah melahirkan keanekaragaman pengelolaan sehingga sulit untuk dicarikan standar untuk meningkatkan mutu. Di dalam menghadapi tuntutan dunia modern karena standar-standar tertentu diperlukan maka pengelolaan pendidikan pesantren dan madrasah perlu disesuaikan agar lebih peka menyerap dan meningkatkan kemampuan dari lembaga tersebut                     di dalam kehidupan global yang penuh persaingan.
Sungguhpun terdapat kekuatan dan kelemahan dari sistem pendidikan pesantren dan madrasah, tentunya tidak dapat kita generalisasikan. Sebagai ilustrasi bagaimana lahir dan berkembangnya Pondok Pesantren Tebuireng yang berkembang di tengah-tengah kemajuan teknologi di sekitar pabrik gula di desa Cukir sekitar Jombang. Menyadari akan kemajuan ilmu dan teknologi, Pondok Pesantren Gontor sangat kreatif dan adaptif untuk menyerap nilai-nilai yang baru tanpa meninggalkan ciri khas dari pendidikan pesantren. Ternyata kekutan pesantren dapat dilestarikan apabila di kelola dengan cara-cara yang inovatif dan kreatif serta sensitif terhadap tuntutan perubahan.
Sesuai dengan permasalahannya, menurut pendapat penulis pengelolaan pendidikan Islam meliputi empat bidang prioritas yaitu :
1)      Peningkatan kualitas,
2)      Pengembangan invonasi dan kreativitas,
3)      Membangun jaringan kerja sama ( networking ), dan
4)      Pelaksanaan otonomi daerah.

 BAB III
KESIMPULAN

Dalam masa Orde Baru masyarakat dan bangsa Indonesia sedang menapak untuk mewujudkan masyarakat Indonesia baru yang mencakup dua aspek :
1)     Mengatasi krisis nasional yang berkepanjangan dengan membagnun kembali masyarakat dan bangsa yang demokratis,
2)     Mempersiapkan masyarakat dan bangsa Indonesia dalam kehidupan masyarakat baru tersebut.
Keadaan ini menuntut reposisi madrasah sebagai salah satu wadah pengembangan generasi muda sesuai dengan perubahan visi dan misi kehidupan bangsa dalam era reformasi dengan mengaktualisasikan potensi-potensi positif yang dimiliki madrasah. Madrasah sebagai lembaga pendidikan yang berciri khas Islam sangat menarik perhatian dalam rangka melaksanakan cita-cita pendidikan nasional, oleh karena bukan saja jumlah peserta didiknya yang signifikan tetapi juga karena karakteristik madrasah sangat sesuai dengan cita-cita reformasi. Dilihat dari segi ini peranan madrasah sangat menonjol oleh karena : pertama, pendidikan di madrasah yang selama ini seakan-akan tersisih dari mainstream pendidikan nasional namun berkenaan dengan pendidikan anak bangsa; kedua, madrasah sebagai pendatang baru dalam sistem pendidikan nasional relatif menghadapi berbagai masalah dan kendala di dalam hal mutu, manajemen, termasuk masalah kurikulumnya. Namun demikian madrasah mempunyai potensi atau nilai-nilai positif oleh karena madrasah sarat akan nilai-nilai budaya bangsa.
Nilai-nilai positif madrasah yang sesuai dengan gerakan reformasi telah tertampung dalam rumusan visi dan misi pembangunan nasional.
Di dalam perkembangannya yang panjang dari kehidupan madrasah di dalam kehidupan bangsa Indonesia, banyak hal-hal positif maupun negatif yang telah lahir di dalam sejarah keberadaannya. Analisis mengenai kekuatan, kelemahan, anomali-anomali kebijakan yang terjadi hingga saat ini mengharuskan madrasah merumuskan kembali paradigma baru agar peran madrasah lebih tajam dan terarah di dalam memasuki millennium ketiga yang penuh dengan tantangan. Selanjutnya prospek madrasah masa depan yang cerah haruslah dipersiapkan untuk memenuhi tuntutan-tuntutan global. Tuntutan-tuntutan tersebut sebagian besar merupakan reaktualisasi potensi madrasah yang kaya dalam pengalaman terutama di dalam memenuhi kebutuhan masyarakat serta memberdayakan masyarakat, ditambah pula dengan tradisi ikut sertanya masyarakat di dalam pembinaan, penyelenggaraan dan pemanfaatan hasil-hasil lembaga pendidikan madrasah.
Dengan rumusan reposisi madrasah yang disesuaikan dengan visi dan misi pembangunan nasional, serta pemanfaatan prospek madrasah dengan nilai-nilainya yang positif dalam memenuhi tuntutan masyarakat Indonesia baru dan masyarakat global, maka dapatlah disusun kurikulum madrasah yang realistis sesuai dengan kebutuhan dinamika masyarakat Indonesia.
Ada dua hal yang sangat penting dikemukakan di dalam pembangunan pendidikan nasional, yaitu :
a)      Lembaga pendidikan sebagai pusat pembudayaan nilai, dan
b)      Prinsip-prinsip pengelolaan pendidikan yaitu desentralisasi serta pengakuan kembali terhadap otonomi keilmuan serta manajemen yang efisien dan efektif.
Apabila disimak bersama, sebenarnya UUSPN No. 2 Tahun 1989 mengandung mutiara-mutiara yang baik dilihat dari segi pendidikan. Namun di dalam penyelenggarannya dan manajemennya memang cenderung kepada sentralisme. Hasil dari sistem pendidikan yang demikian adalah tercabutnya pendidikan dari kebudayaan. Antara undang-undang dengan pelaksanaannya terdapat ketidaksesuaian oleh karena pendidikan telah menjadi alat politik atau lebih tepat lagi menjadi alat politik penguasa. Sebenarnya, di dalam undang-undang tersebut ditekankan tentang pentingnya peran serta masyarakat ( Pasal 47 ). Demikian pula ditekankan bahwa pendidikan nasional berakar pada kebudayaan nasional namun di dalam pelaksanannya telah terlepas dari kebudayaan. Di dalam PP No. 29 Tahun 1990 dijelaskan bahwa praksis pendidikan haruslah didasarkan kepada wawasan Wiyatamandala ( PP No. 29 Tahun 1990, pasal 10 ). Wawasan Wiyatamandala antara lain menyatakan bahwa sekolah harus bertumpu pada masyarakat sekitarnya dan mendukung kerukunan antara warga sekolah. Berdasarkan pengamatan ini, juga dengan lahirnya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, sudah pada waktunya untuk meninjau kembali bahkan kalau perlu mengganti UUSPN No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, agar praksis pendidikan lebih sesuai dengan dinamika kehidupan masyarakat.

 



 
DAFTAR  PUSTAKA

GBHN 1983, Jakarta.

GBHN 1999, Jakarta.

UUSPN No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

UUSPN No. 22 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Prof. Dr. Tilaar, Msc, Ed, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, Jakarta : Rineka Cipta, 2000.

Majalah Rindang, No. 1 Tahun XXIX Agustus 2003.

Malik Fadjar, Visi Pembaharuan Pendidikan Islam, Jakarta : tp, 1998.

Zuharsini, dkk, Metodik Khusus Pendidikan Agama, Malang : IAIN Walisongo, 1983.

H. M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996


[1] H. M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), h. 13.
[2] Zuhairini, Dra., dkk, Sejarah Pendidikan Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 1997, hlm. 1-2.
[3] GBHN 1983, Jakarta.

[4] UUSPN No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

[5] Zamakhsyri Dhofier, 1993

Tidak ada komentar:

Posting Komentar