Senin, 26 Agustus 2013
CIRI-CIRI WAHABI/SALAFI YANG PERLU DIPAERHATIKAN !!
“Aku berpikir” maka “Aku Ada”. Ada 3 hal disitu yaitu (1) Aku; (2) Berpikir; dan (3) Ada. Jika dicermati maka penentuan “aku” dan “keakuan” serta “ada” dan “keberadaan” semuanya hanya bisa dilakukan dengan cara “berpikir” dan “pikiran“.
Intinya begini, “aku dan keberadaan aku” adalah proses/hasil/tujuan dari pemikiran dan proses berpikir. Pemikiranlah yang menentukan siapa diri sendiri. Istilah lainnya, proses berpikir yang sering dinamakan rasio, akal, logika, dan nalar patut dipuja dan disembah karena disitulah letak seluruh hidup dan keberadaan seseorang. Getit ?
Juga dengan implikasi lain : apapun yang memiliki kategori “berpikir” maka dia “ada” (exist). Btw, saya jadi bertanya, apakah saya exist karena saya sering melakukan sesuatu “tanpa berpikir” ? Atau kata teman: labrak dulu, mikir belakangan.
Minggu, 25 Agustus 2013
SEJARAH PEKALONGAN
Kota Pekalongan adalah salah satu kota di pesisir pantai utara Provinsi
Jawa Tengah. Kota ini berbatasan dengan laut jawa di utara, Kabupaten
Pekalongan di sebelah selatan dan barat dan Kabupaten Batang di timur.
Kota Pekalongan terdiri atas 4 kecamatan, yakni Pekalongan Utara,
Pekalongan Barat, Pekalongan Selatan dan Pekalongan Timur. Kota
Pekalongan terletak di jalur pantai Utara Jawa yang menghubungkan
Jakarta-Semarang-Surabaya. Kota Pekalongan berjarak 384 km di timur
Jakarta dan 101 km sebelah barat Semarang. Kota Pekalongan mendapat
julukan kota batik. Hal ini tidak terlepas dari sejarah bahwa sejak
puluhan dan ratusan tahun lampau hingga sekarang, sebagian besar proses
produksi batik Pekalongan dikerjakan di rumah-rumah. Akibatnya batik
Pekalongan menyatu erat dengan kehidupan masyarakat Pekalongan. Batik
telah menjadi nafas penghidupan masyarakat Pekalongan dan terbukti tetap
dapat eksis dan tidak menyerah pada perkembangan jaman, sekaligus
menunjukkan keuletan dan keluwesan masyarakatnya untuk mengadopsi
pemikiran-pemikiran baru.
Meskipun tidak ada catatan resmi kapan batik mulai dikenal di Pekalongan, namun menurut perkiraan batik sudah ada di Pekalongan sekitar tahun 1800. Bahkan menurut data yang tercatat di Deperindag, motif batik itu ada yang dibuat 1802, seperti motif pohon kecil berupa bahan baju.
Perkembangan yang signifikan diperkirakan terjadi setelah perang Diponegoro atau perang Jawa pada tahun 1825-1830. Terjadinya peperangan ini mendesak keluarga kraton Mataram serta para pengikutnya banyak yang meninggalkan daerah kerajaan terbesar ke Timur dan Barat. Di daerah-daerah baru itu mereka kemudian menggembangkan batik. Ke arah timur berkembang dan mempengaruhi batik yang ada di Mojokerto, Tulunggagung, hingga menyebar ke Gresik, Surabaya, dan Madura. Sedangkan ke barat berkembang di banyumas, Kebumen, Tegal, Cirebon dan Pekalongan. Dengan adanya migrasi ini, maka batik Pekalongan yang telah berkembang sebelumnya semakin berkembang, Terutama di sekitar daerah pantai sehingga Pekalongan kota, Buaran, Pekajangan, dan Wonopringgo.
Perjumpaan masyarakat Pekalongan dengan berbagai bangsa seperti Cina, Belanda, Arab, India, Melayu dan Jepang pada zaman lampau telah mewarnai dinamika pada motif dan tata warna seni batik. Sehingga tumbuh beberapa jenis motif batik hasil pengaruh budaya dari berbagai bangsa tersebut yang kemudian sebagai motif khas dan menjadi identitas batik Pekalongan. Motif Jlamprang diilhami dari Negeri India dan Arab. Motif Encim dan Klenengan, dipengaruhi oleh peranakan Cina. Motif Pagi-Sore dipengaruhi oleh orang Belanda, dan motif Hokokai tumbuh pesat pada masa pendudukan Jepang.
Kota Pekalongan memiliki pelabuhan perikanan terbesar di Pulau Jawa. Pelabuhan ini sering menjadi transit dan area pelelangan hasil tangkapan laut oleh para nelayan dari berbagai daerah. Selain itu Kota Pekalongan banyak terdapat perusahaan pengolahan hasil laut,seperti ikan asin, ikan asap, tepung ikan, terasi, sarden, dan kerupuk ikan, baik perusahaan bersekala besar maupun industri rumah tangga.
Kota Pekalongan terkenal dengan nuansa religiusnya, karena mayoritas penduduknya memeluk agama Islam. Ada beberapa adat tradisi di Pekalongan yang tidak dijumpai di daerah lain semisal; syawalan, sedekah bumi, dan sebagainya. Syawalan adalah perayaan tujuh hari setelah Idul Fitri dan disemarakkan dengan pemotongan lopis raksasa untuk kemudian dibagi-bagikan kepada para pengunjung.
Nama Pekalongan sampai saat ini belum jelas asal-usulnya, belum ada prasasti atau dokumen lainnya yang bisa dipertanggungjawabkan, yang ada hanya berupa cerita rakyat atau legenda. Dokumen tertua yang menyebut nama Pekalongan adalah Keputusan Pemerintah Hindia Belanda (Gouvernements Besluit) Nomer 40 tahun 1931:nama Pekalongan diambil dari kata “Halong” (dapat banyak) dan dibawah simbul kota tertulis “Pek-Alongan”.
Kemudian berdasarkan keputusan DPRD Kota Besar Pekalongan tanggal 29 januari 1957 dan Tambahan Lembaran daerah Swatantra Tingkat I Jawa Tengah tanggal 15 Desember 1958, Serta persetujuan Pepekupeda Teritorium 4 dengan SK Nomer KTPS-PPD/00351/II/1958:nama Pekalongan berasal dari kata “A-Pek-Halong-An” yang berarti pengangsalan (Pendapatan).
Pada masa VOC (abad XVII) dan pemerintahan Kolonial Hindia Belanda, sistem Pemerintahan oleh orang pribumi tetap dipertahankan. Dalam hal ini Belanda menentukan kebijakan dan prioritas, sedangkan penguasa pribumi ini oleh VOC diberi gelar Regant (Bupati). Pda masa ini, Jawa Tengah dan jawa Timur dibagi menjadi 36 kabupaten Dengan sistem Pemerintahan Sentralistis
Pada abad XIX dilakukan pembaharuan pemerintahan dengan dikeluarkannya Undang-Undang tahun 1954 yang membagi Jawa menjadi beberapa Gewest/Residensi. Setiap Gewest mencakup beberapa afdelling (setingkat kabupaten) yang dipimpin oleh asisten Residen, Distrik (Kawadenan) yang dipimpin oleh Controleur, dan Onderdistrict (Setinkat kecamatan) yang dipimpin Aspiran Controleur.
Di wilayah jawa Tengah terdapat lima Gewest, Yaitu:
Semarang gewest yang terdiri dari semarang, Kendal, Demak, Kudus, Pati, Jepara dan Grobongan.
Rembang Gewest yang terdiri dari Rembang, Blora, Tuban, dan Bojonegoro
Kedu Gewest yang terdiri dari Magelang,Temanggung,Wonosobo,Purworejo,Kutoarjo, Kebumen,dan karanganyar.
Banyumas Gewest yang terdiri dari Banyumas, Purwokerto, Cilacap, Banjarnegara, dan Purbalingga.
Pekalongan gewest terdiri dari Breber, Tegal, Pemalang, Pekalongan, Batang.
Pada pertengahan abad XIX dikalangan kaum liberal Belanda muncul pemikiran etis-selanjutnya dikenal sebagai Politik Etis – yang menyerukan Program Desentralisasi Kekuasaan Administratip yang memberikan hak otonomi kepada setiap Karesidenan (Gewest) dan Kota Besar (Gumentee) serta pemmbentukan dewan-dewan daerah di wilayah administratif tersebut. Pemikiran kaum liberal ini ditanggapi oleh Pemerintah Kerajaan Belanda dengan dikeluarkannya Staatbland Nomer 329 Tahun 1903 yang menjadi dasar hukum pemberian hak otonomi kepada setiap residensi (gewest); dan untuk Kota Pekalongan, hak otonomi ini diatur dalam Staatblaad Nomer 124 tahun 1906 tanggal 1 April 1906 tentang Decentralisatie Afzondering van Gelmiddelen voor de Hoofplaatss Pekalongan uit de Algemenee Geldmiddelen de dier Plaatse yang berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Pada tanggal 8 Maret 1942 Pemerintah Hindia Belanda menandatangani penyerahan kekuasaan kepada tentara Jepang. Jepang menghapus keberadaan dewan-dewan daerah, sedangkan Kabupaten dan Kotamadya diteruskan dan hanya menjalankan pemerintahan dekonsentrasi.
Proklamasi Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus oleh dwitunggal Soekarno-Hata di Jakarta, ditindaklanjuti rakyat Pekalongan dengan mengangkat senjata untuk merebut markas tentara Jepang pada tanggal 3 Oktober 1945. Perjuangan ini berhasil, sehingga pada tanggal 7 Oktober 1945 Pekalongan bebas dari tentara Jepang.
Secara yuridis formal, Kota Pekalongan dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomer 16 Tahun 1950 tanggal 14 Agustus 1950 tentang Pembentukan Daerah Kota Besar dalam lingkungan Jawa Barat/Jawa Tengah/Jawa Timur dan Daerah Istimewa Jogjakarta. Selanjutnya dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, maka Pekalongan berubah sebutannya menjadi Kotamadya Dati II Pekalongan.
Terbitnya PP Nomer 21 Tahun 1988 tanggal 5 Desember 1988 dan ditinjaklanjuti dengan Inmendagri Nomor 3 Tahun 1989 merubah batas wilayah Kotamadya Dati II Pekalongan sehingga luas wilayahnya berubah dari 1.755 Ha menjadi 4.465,24 Ha dan terdiri dari 4 Kecamatan, 22 desa dan 24 kelurahan.
Sejalan dengan era reformasi yang menuntut adanya reformasi disegala bidang, diterbitkan PP Nomer 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan PP Nomer 32 Tahun 2004 yang mengubah sebutan Kotamadya Dati II Pekalongan menjadi Kota Pekalongan.
Meskipun tidak ada catatan resmi kapan batik mulai dikenal di Pekalongan, namun menurut perkiraan batik sudah ada di Pekalongan sekitar tahun 1800. Bahkan menurut data yang tercatat di Deperindag, motif batik itu ada yang dibuat 1802, seperti motif pohon kecil berupa bahan baju.
Perkembangan yang signifikan diperkirakan terjadi setelah perang Diponegoro atau perang Jawa pada tahun 1825-1830. Terjadinya peperangan ini mendesak keluarga kraton Mataram serta para pengikutnya banyak yang meninggalkan daerah kerajaan terbesar ke Timur dan Barat. Di daerah-daerah baru itu mereka kemudian menggembangkan batik. Ke arah timur berkembang dan mempengaruhi batik yang ada di Mojokerto, Tulunggagung, hingga menyebar ke Gresik, Surabaya, dan Madura. Sedangkan ke barat berkembang di banyumas, Kebumen, Tegal, Cirebon dan Pekalongan. Dengan adanya migrasi ini, maka batik Pekalongan yang telah berkembang sebelumnya semakin berkembang, Terutama di sekitar daerah pantai sehingga Pekalongan kota, Buaran, Pekajangan, dan Wonopringgo.
Perjumpaan masyarakat Pekalongan dengan berbagai bangsa seperti Cina, Belanda, Arab, India, Melayu dan Jepang pada zaman lampau telah mewarnai dinamika pada motif dan tata warna seni batik. Sehingga tumbuh beberapa jenis motif batik hasil pengaruh budaya dari berbagai bangsa tersebut yang kemudian sebagai motif khas dan menjadi identitas batik Pekalongan. Motif Jlamprang diilhami dari Negeri India dan Arab. Motif Encim dan Klenengan, dipengaruhi oleh peranakan Cina. Motif Pagi-Sore dipengaruhi oleh orang Belanda, dan motif Hokokai tumbuh pesat pada masa pendudukan Jepang.
Kota Pekalongan memiliki pelabuhan perikanan terbesar di Pulau Jawa. Pelabuhan ini sering menjadi transit dan area pelelangan hasil tangkapan laut oleh para nelayan dari berbagai daerah. Selain itu Kota Pekalongan banyak terdapat perusahaan pengolahan hasil laut,seperti ikan asin, ikan asap, tepung ikan, terasi, sarden, dan kerupuk ikan, baik perusahaan bersekala besar maupun industri rumah tangga.
Kota Pekalongan terkenal dengan nuansa religiusnya, karena mayoritas penduduknya memeluk agama Islam. Ada beberapa adat tradisi di Pekalongan yang tidak dijumpai di daerah lain semisal; syawalan, sedekah bumi, dan sebagainya. Syawalan adalah perayaan tujuh hari setelah Idul Fitri dan disemarakkan dengan pemotongan lopis raksasa untuk kemudian dibagi-bagikan kepada para pengunjung.
Nama Pekalongan sampai saat ini belum jelas asal-usulnya, belum ada prasasti atau dokumen lainnya yang bisa dipertanggungjawabkan, yang ada hanya berupa cerita rakyat atau legenda. Dokumen tertua yang menyebut nama Pekalongan adalah Keputusan Pemerintah Hindia Belanda (Gouvernements Besluit) Nomer 40 tahun 1931:nama Pekalongan diambil dari kata “Halong” (dapat banyak) dan dibawah simbul kota tertulis “Pek-Alongan”.
Kemudian berdasarkan keputusan DPRD Kota Besar Pekalongan tanggal 29 januari 1957 dan Tambahan Lembaran daerah Swatantra Tingkat I Jawa Tengah tanggal 15 Desember 1958, Serta persetujuan Pepekupeda Teritorium 4 dengan SK Nomer KTPS-PPD/00351/II/1958:nama Pekalongan berasal dari kata “A-Pek-Halong-An” yang berarti pengangsalan (Pendapatan).
Pada masa VOC (abad XVII) dan pemerintahan Kolonial Hindia Belanda, sistem Pemerintahan oleh orang pribumi tetap dipertahankan. Dalam hal ini Belanda menentukan kebijakan dan prioritas, sedangkan penguasa pribumi ini oleh VOC diberi gelar Regant (Bupati). Pda masa ini, Jawa Tengah dan jawa Timur dibagi menjadi 36 kabupaten Dengan sistem Pemerintahan Sentralistis
Pada abad XIX dilakukan pembaharuan pemerintahan dengan dikeluarkannya Undang-Undang tahun 1954 yang membagi Jawa menjadi beberapa Gewest/Residensi. Setiap Gewest mencakup beberapa afdelling (setingkat kabupaten) yang dipimpin oleh asisten Residen, Distrik (Kawadenan) yang dipimpin oleh Controleur, dan Onderdistrict (Setinkat kecamatan) yang dipimpin Aspiran Controleur.
Di wilayah jawa Tengah terdapat lima Gewest, Yaitu:
Semarang gewest yang terdiri dari semarang, Kendal, Demak, Kudus, Pati, Jepara dan Grobongan.
Rembang Gewest yang terdiri dari Rembang, Blora, Tuban, dan Bojonegoro
Kedu Gewest yang terdiri dari Magelang,Temanggung,Wonosobo,Purworejo,Kutoarjo, Kebumen,dan karanganyar.
Banyumas Gewest yang terdiri dari Banyumas, Purwokerto, Cilacap, Banjarnegara, dan Purbalingga.
Pekalongan gewest terdiri dari Breber, Tegal, Pemalang, Pekalongan, Batang.
Pada pertengahan abad XIX dikalangan kaum liberal Belanda muncul pemikiran etis-selanjutnya dikenal sebagai Politik Etis – yang menyerukan Program Desentralisasi Kekuasaan Administratip yang memberikan hak otonomi kepada setiap Karesidenan (Gewest) dan Kota Besar (Gumentee) serta pemmbentukan dewan-dewan daerah di wilayah administratif tersebut. Pemikiran kaum liberal ini ditanggapi oleh Pemerintah Kerajaan Belanda dengan dikeluarkannya Staatbland Nomer 329 Tahun 1903 yang menjadi dasar hukum pemberian hak otonomi kepada setiap residensi (gewest); dan untuk Kota Pekalongan, hak otonomi ini diatur dalam Staatblaad Nomer 124 tahun 1906 tanggal 1 April 1906 tentang Decentralisatie Afzondering van Gelmiddelen voor de Hoofplaatss Pekalongan uit de Algemenee Geldmiddelen de dier Plaatse yang berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Pada tanggal 8 Maret 1942 Pemerintah Hindia Belanda menandatangani penyerahan kekuasaan kepada tentara Jepang. Jepang menghapus keberadaan dewan-dewan daerah, sedangkan Kabupaten dan Kotamadya diteruskan dan hanya menjalankan pemerintahan dekonsentrasi.
Proklamasi Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus oleh dwitunggal Soekarno-Hata di Jakarta, ditindaklanjuti rakyat Pekalongan dengan mengangkat senjata untuk merebut markas tentara Jepang pada tanggal 3 Oktober 1945. Perjuangan ini berhasil, sehingga pada tanggal 7 Oktober 1945 Pekalongan bebas dari tentara Jepang.
Secara yuridis formal, Kota Pekalongan dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomer 16 Tahun 1950 tanggal 14 Agustus 1950 tentang Pembentukan Daerah Kota Besar dalam lingkungan Jawa Barat/Jawa Tengah/Jawa Timur dan Daerah Istimewa Jogjakarta. Selanjutnya dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, maka Pekalongan berubah sebutannya menjadi Kotamadya Dati II Pekalongan.
Terbitnya PP Nomer 21 Tahun 1988 tanggal 5 Desember 1988 dan ditinjaklanjuti dengan Inmendagri Nomor 3 Tahun 1989 merubah batas wilayah Kotamadya Dati II Pekalongan sehingga luas wilayahnya berubah dari 1.755 Ha menjadi 4.465,24 Ha dan terdiri dari 4 Kecamatan, 22 desa dan 24 kelurahan.
Sejalan dengan era reformasi yang menuntut adanya reformasi disegala bidang, diterbitkan PP Nomer 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan PP Nomer 32 Tahun 2004 yang mengubah sebutan Kotamadya Dati II Pekalongan menjadi Kota Pekalongan.
“Aku berpikir” maka “Aku Ada”. Ada 3 hal disitu yaitu (1) Aku; (2) Berpikir; dan (3) Ada. Jika dicermati maka penentuan “aku” dan “keakuan” serta “ada” dan “keberadaan” semuanya hanya bisa dilakukan dengan cara “berpikir” dan “pikiran“.
Intinya begini, “aku dan keberadaan aku” adalah proses/hasil/tujuan dari pemikiran dan proses berpikir. Pemikiranlah yang menentukan siapa diri sendiri. Istilah lainnya, proses berpikir yang sering dinamakan rasio, akal, logika, dan nalar patut dipuja dan disembah karena disitulah letak seluruh hidup dan keberadaan seseorang. Getit ?
Juga dengan implikasi lain : apapun yang memiliki kategori “berpikir” maka dia “ada” (exist). Btw, saya jadi bertanya, apakah saya exist karena saya sering melakukan sesuatu “tanpa berpikir” ? Atau kata teman: labrak dulu, mikir belakangan.
Minggu, 18 Agustus 2013
SEJARAH PENDIDIKAN ISLAM PADA MASA ORDE BARU
BAB
I
PENDAHULUAN
Pendidikan Agama Islam (PAI) merupakan pendidikan yang mengajarkan tentang akhlak
mulia serta membentuk dan mengarahkan kepribadian baik dan benar. Di samping
itu, Pendidikan Agama Islam adalah salah satu alat pembudaya manusia itu sendiri.
Di mana Pendidikan Agama Islam mencakup segala bidang kehidupan manusia di mana
manusia mampu memanfaatkan sebagai tempat menanam benih amaliah di akhirat
nanti, maka pembentukan sikap dan nilai amaliyah islamiyah dalam pribadi
manusia baru dapat efektif bilamana dilakukan melalui proses pendidikan yang
berjalan di atas kaidah agama Islam.[1]
Dalam hal ini kaitannya dengan perkembangan
Pendidikan Agama Islam di Indonesia, khususnya pada masa Orde Baru penulis akan
membahas bagaimana konsep dan kebijakan – kebijakan yang dimiliki pada masa
itu.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
1. Pengertian
sejarah pendidikan Islam :[2]
i.
Sejarah, secara bahasa : tarih ( ketentuan masa ),
history.
Secara istilah : keterangan yang telah terjadi
dikalangannya pada masa yang telah lampau atau pada masa yang masih ada.
ii.
Pendidikan, adalah : aktivitas dan usaha manusia untuk
menambahkan dan mengembangkan potensi-potensi pembawaan baik jasmani maupun
rohani sesuai dengan nilai-nilai yang ada didalam masyarakat dan kebudayaan.
iii.
Islam secara bahasa : tunduk atau patuh.
Secara istilah :
melaksanakan syari’at Allah yang dibawa oleh Rasulullah SAW untuk keselamatan
didunia dan akhirat.
Jadi
sejarah pendidikan Islam adalah : cabang ilmu pengetahuan yang berhubungan
dengan pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam, baik dari segi ide dan
konsepsi maupun segi institusi dan operasionalisasi sejak zaman Nabi Muhammad
SAW sampai sekarang.
B. Konsep Pendidikan Islam Pada Zaman Orde Baru
Berdasarkan UU No. 2 / 1989 makna satu-satunya dari
“Pendidikan Agama Islam” adalah sebagai salah satu bidang studi pendidikan yang
bersama-sama dengan Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan menjadi
kurikulum wajib bagi setieap jenis, jalur dan jenjang pendidikan ( pasal 39 (2)
). Sedangkan istilah “Pendidikan Islam” tidak dikenal dengan UU tersebut,
karena lembaga pendidikan yang berciri agama, yang di Indonesia tidak terdapat,
baik sekolah maupun luar sekolah, ( termasuk pondok ) harus tetap mengacu pada
sistem pendidikan nasional. Jadi, kalaupun suatu lembaga pendidikan menjadikan
Islam sebagai landasan sistemnya, harus tetap dalam konteks ke – Indonesiaan
yang bentuk konkritnya harus dilengkai dengan Pendidikan Pancasila.
Memang dalam UU No. 2 / 1989 tidak terdapat ketentuan
bahwa kurikulum pendidikan luar sekolah harus mengikuti pendidikan sekolah,
namun Pancasila dengan P4-nya telah menjadi konsensus bangsa Indonesia sebagai
ideologi dan falsafah hidup, maka secara moral seluruh satuan pendidikan
hendaklah mengacu pada cita-cita nasional, sehingga keberadaannya akan membantu
pemerintah dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Ini sesuai dengan UU No.
2 / 1989 pasal 39 (2) : “Isi kurikulum setiap jenis, jalur dan jenjang
pendidikan wajib memuat : a) Pendidikan Pancasila; b) Pendidikan Agama dan c)
Pendidikan Kewarganegaraan”. Sedangkan jalur pendidikan ada 2 macam : jalur pendidikan sekolah
dan jalur pendidikan luar sekolah ( pasal 10 ayat 1 ).[3]
Makna lain dari pendidikan Islam adalah sebagai ilmu,
yang umumnya dikembangkan dalam Fakultas Tarbiyah baik negeri ( IAIN ) maupun
swasta, yaitu sebagai “Ilmu Pendidikan Islam” yang meliputi : Sejarah
Pendidikan Islam, Teori Pendidikan Islam dan Filsafat Pendidikan Islam.
- Lembaga Pendidikan Pada Masa Orde Baru
Nomeclatur bagi lembaga pendidikan berciri khas
agama Islam yang selama ini digunakan adalah “Perguruan Agama Islam”
sebagaimana terlihat dari nama instansi yang mengelola lembaga tersebut, yaitu
“Direktorat di bawah Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam
dengan diundangnya UU No. 2 / 1989, maka nama itu diubah menjadi “Lembaga
Pendidikan Keagamaan” yang bagi Islam adalah sangat wajar apabila ditambah kata
“Islam” di belakangnya. Namun penamaan ini membawa konsekuensi “penciutan”
terhadap maknanya, karena apabila sebelum adanya undang-undang tersebut yang
termasuk ke dalam Perguruan Agama Islam adalah :
1.
Raudhat Al-Athafal / Bustan Al-Athfal ( Taman
Kanak-Kanak Islam ), Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah
Aliyah sebagai jalur pendidikan formal, dan
2.
Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah sebagai lembaga
pendidikan non formal.
Maka dengan adanya UU No. 2 / 1989 terdapat berbagai
perubahan antara lain :
- Kelompok yang pertama di atas sekarang dinamakan jalur “pendidikan sekolah” kecuali tingkat taman kanak-kanak yang termasuk ke dalam pendidikan “pra sekolah” sedangkan yang kedua disebut “jalur pendidikan luar sekolah”.
- Dengan adanya PP. No. 28 / 1990, No. 29 / 1990 ( sebagai pelaksanaan UU no. 2 / 1989 ) dan dipertegas oleh Kep. Mendikbud nomor 0487 / U / 1989, No. 054 / U / 1993 dan 0489 / U / 1992, maka keduudkan Madrasah Ibtidaiyah adalah sebagai “SD yang berciri khas Agama Islam yang diselenggarkaan oleh Departemen Agama”, demikian juga Madrasah Tsanawiyah dan Aliyah, masing-masing sebagai “Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama ( SLTP ) dan Sekolah Menengah Umum ( SMU ) yang berciri khas Agama Islam yang diselenggarakan oleh Departemen Agama”. Selanjutnya dipertegas lagi, bahwa Madrasah Ibtidaiyah wajib memberikan bahan kajian sekurang-kurangnya sama dengan SD di samping bahan kajian lain yang diberikan berdasarkan ketentuan yang berlaku” ( Kep. Mendikbud No. 0487 / 1992 pasal 19 ). Demikian juga Madrasah Tsanawiyah dan Aliyah “wajib memberikan bahan kajian sekurang-kurangnya sama dengan SLTP dan SMU di samping dengan bahan kajian lain yang diberikan pada madrasah tersebut” ( Kep. Mendikbud No. 054 / U / 1993 pasal 20 dan Kep. Mendikbud No. 0489 / U / 1992 pasal 20 ).[4]
Dengan demikian, jelas bahwa kini yang dinamakan
“Perguruan Agama Islam” dalam arti tradisional hanya ada satu, yaitu yang
bernama “Pendidikan Keagamaan” dan hanya satu jenjang yaitu pendidikan
menengah. Dan menurut PP No. 29 / 1990 pasal 3 (3) disebutkan : “Pendidikan
Menengah Keagamaan mengutamakan penyiapan siswa dalam penguasaan pengetahuan
khusus tentang ajaran agama yang bersangkutan”. Selanjutnya pasal 4 (3)
menyatakan bahwa penamaan Sekolah Menengah Keagamaan ditetapkan oleh Menteri
Agama setelah mendengar pertimbangan dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.
Sekolah semacam itu ada pada waktu ini adalah Madrasah
Aliyah Program Khusus ( MAPK ) dengan pertimbangna jam pelajaran agama :
Umum ( 65 % ) dan Agama ( 35 % ).
MAPK ini merupakan pengembangan dari program ilmu-ilmu agama ( jurusan ilmu
agama ) pada Madrasah Aliyah dengan perbandingan antara pelajaran agama dengan
umum 98 : 142 atau 41 % : 59 % . Karena tamatan jurusan ini ternyata kurang
berkompeten untuk memasuki IAIN, maka dikembangkan menjadi MAPK yang dari
pengalaman penerimaan para tamatannya ke IAIN Walisongo memang menujukkan
adanya kemampuan yang lebih baik. Jadi dapat kita katakan bahwa MAPK – lah yang
kini merupakan satu-satunya bentuk Sekolah Menengah Keagamaan Islam yang murni,
yang juga terbuka bagi masyarakat untuk mendirikannya. Dan dengan tidak mentuup
kemungkinan para tamatannya untuk memasuki jenjang pendidikan tinggi umum
dengan menempuh ujian akhir Aliyah atau SMU secara individu diharapkan siswa
MAPK ini merupakan sumber daya calon-calon mahasiswa IAIN.
- Perbedaan Lembaga Pendidikan Agama dengan Sekolah Umum
Masalah lain dalam kaitan ini adalah lembaga-lembaga
pendidikan Madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah dan Aliyah yang kini tidak lain smaa
dengan SD, SLTP dan SMU Islam ( atau SD, SLTP dan SMU Dep. Agama ), sesuai
dengan label “berciri khas agama Islam” dituntut untuk menunjukkan kekhasan
cirinya itu. Dalam kaitan ini Direktur Pembinaan Perguruan Agama Islam Depaq
menyatakan bahwa “ciri khas agama Islam ini akan diformulasikan dalam kegiatan
intra dan ekstra kurikuler”. Fomulasi dalam bentuk intra kurikuler akan berupa
penjabaran mata pelajaran pendidikan agama di SD / SLTP / SMU ke dalam mata pelajaran-mata
pelajaran seperti Al-Qur'an, Hadits, Aqidah, Akhalk, Fiqh, Sejarah Islam dan
Bahasa Arab. Waktu yang disediakan diperkirakan akan lebih kecil dibandingkan
dengan waktu yang tersedia dalam kurikulum madrasah yang sekarang.[5]
Memang pandangan sepintas memberikan kesan adanya
“dualisme” dalam sistem pendidikan nasional, karena dua lembaga pendidikan yang
hakikatnya sama, dikelola oleh dua departemen yang notabene sama-sama
pemerintah. Namun apabila melihat latar belakagn historis maupun kultural,
khususnya tentang peran lembaga pendidikan Islam, dalam perjalanan sejarah
pendidikan Indonesia, status demikian bagi madrasah-madrasah tersebut merupakan
satu “bentuk kearifan” dari kondisi obyektif di Indonesia saat ini yang
menggambarkan adanya kemajemukan dalam kesatuan ( Bhinneka Tunggal Ika ) dalam
sistem pendidikan. Dengan demikian, ide tentang sistem dan sub-sistem dalam
pendidikan di Indonesia
tetap terjamin.
- Orientasi Pendidikan Agama
Selanjutnya terdapat sedikit perbedaan orientasi
tamatan Madrasah Aliyah dalam melanjutkan pendidikannya ke pendidikan
tinggi dibandingkan sistem pendidikan
Madrasah sebelumnya. Apabila MAPK terutama berorientasi di IAIN, maka tamatan Aliyah
adalah terutama berorientasi ke perguruan tinggi umum, dengan tidak tertutup
kemungkinan ke IAIN tergantung kepada kemampuan individual.
Khusus IAIN, baik UUSPN maupun PP 30 / 1990 tidak
menyebutkan sebagai jenis pendidikan tinggi khusus sebagaimana Madrasah. Namun,
apabila dilihat dari tujuan dan keahlian yang ingin dicapai oleh pendidikan
ini, baik akademik maupun profesional, maka analog dengan pendidikan mengenah,
cukup alasan untuk memasukkan IAIN ke dalam kategori “Pendidikan Tinggi
Keagamaan” yang dikelola oleh Departemen Agama walaupun secara akademik
harus mengacu pada ketentuan yang ditetapkan oleh Depdikbud ( UUPSN pasal 12
dan 19 ). Karena peraturan khusus tentang IAIN belum ada, menurut hemat penulis,
di samping status yang sampai sekarang juga belum keluar, masih diperlukan
adanya peraturan khusus, baik berbentuk PP ataupun Keputusan Menteri.
Tentang Pondok Pesantren sebagai jalur pendidikan
keagamaan luar sekolah, yang kini berperan sebagai “mitra” sekolah telah banyak
dibahas baik dalam forum pertemuan ilmiah sebagai salah satu proyek pembangunan
bidang agam aoleh Depag, yaitu proyek Pembangunan dan Bantuan kepada Pondok
Pesantren. Lewat proyek ini telah dimasukkan pendidikan ketrampilan, antara
lain penjahitan dan perajutan, administrasi dan manajemen, pertukangan,
pertanian, peternakan, bahkan juga fotografi ( Abdurrahman Saleh, et.al., 1978
).
Pondok Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam
tertua di Indonesia
memiliki ciri-ciri khas yang membuat Pesantren tetap survise yaitu :
semangat percaya diri sendiri, mandiri, sederhana dan rasa solidaritas ( ukhuwah
) yang tinggi ( H.M. Yusuf Hasyim, 1987 ). Ciri-ciri yang demikian, pada
hakikatnya juga merupakan ciri-ciri manusia yang diharapkan oleh pendidikan
nasional yang diformulasikan ke dalam konsep “manusia seutuhnya”. Beberapa
prinsip lain yang diajukan Mastuhu ( 1987 ) adalah wisdom ( kearifan )
sebagai tujuan yang akan dicapai ( meskipun apabila berlebihan dapat menjauhkan
santri dari kehiduan riil ), kebebasan yang terpimpin ( oleh kyai ), self-government ( mengatur diri sendiri
secara kolektif ), hubungan kyai, guru, santri dan masyarakat yang mesra dan
ibadah ( bahwa semua aktivitas di Pondok adalah dalam rangka ibadah kepada
Allah ).
Dari berbagai penelitian dan pengamatan para pakar,
ada ciri khas lain yang menonjol, yaitu peran “kyai” pemilik / pimpinan pondok
dengan kharismanya yang sangat dominan, yang merupakan unsur utama dan pertama
dari suatu Pondok Pesantren. Hal ini karma otoritas keagamaan yang dimilikinya
dan moral yang tinggi sebagai “bapak”, penasehat dan contoh kepribadian ( uswah khasanah )
dan lebih penting lagi dipercaya sebagai “pewaris Nabi” yang bisa memberikan
barokah kepada sekelilingnya ( Wolfgang Krocer, Abdurrahman Wahid, 1988 ).
Kepemimpinan kharismatis yang demikian, ternyata bisa
menjadi kendala bagi upaya pengembangan suatu pondok, karena dengan
meninggalnya seorang kyai pimpinan pondok, pondok tersebuSt mengalami semacam
krisis kepemimpinan. Krisis ini akan dapat diatasi apabila sang kyai mempunyai
anak / keturunan yang setaraf dengan kharismanya ( Sudjoko Prasojo, 1975 ).
Atas dasar ini maka diperlukan adanya upaya untuk lebih menjadikan kepemimpinan
pondok lebih bersifat “rasional / demokratis” agar kesinambungannya lebih
terpimpin.
Dalam kaitannya dengan pembangunan dan pendidikan
nasional, maka lembaga pendidikan luar sekolah yang sebagian besar terletak di
pedesaan ini diharpakan mampu berperan sebagai agent of development
khususnya bagi masyarakat pedesaan sebagaimana yang kini telah banyak
ditunjukkan oleh banyak pondok seperti Darul Falah di Jawa Barat, Pabelan di
Jawa Tengah dan An-Nuqayyah di Jawa Timur. Untuk ini sekalipun masih ada
kendala sebagaimana yang ditunjukkan oleh Dr. Hiroko Horikoshi ( di Jawa Barat
) terhadap perubahand an mempertahankan kedudukan yang berpengaruh dalam sistem
tradisional. Akan tetapi, menurut Krocher ( 1988 ) bahwa “pesantren telah
menunjukkan penyesuaian mereka dengan perubahan sosial, dengan menerima
inovasi-inovasi secara hati-hati dan mengintegrasikannya ke dalam kerangka
kerja yang ada dalam keharmonisan dengan tradisi-tradisi Jawa Kuno – dengan
menerima pengaruh asing tanpa melepaskan diri secara drastis dari keyakinan dan
praktik sebelumnya”. Yang jelas adalah bahwa kini kebanyakan Pesantren telah
membuka madrasah, dari jenjang Ibtidaiyah bahkan sampai Perguruan Tinggi,
sehingga kebanyaka mereka sesungguhnya telah masuk ke dalam pola pendidikan
sekolah. Dan karena materi utamanya adalah ilmu-ilmu agama Islam, akan lebih
mudah untuk mewujudkan pendidikan keagamaan semacam MAPK.
Satu hal lagi yang ada di Pesantren yaitu bahwa
masalah “dikotomi” yang ada di sekolah-sekolah umum ( bahkan juga di beberapa
Madrasah ), tidak kita jumpai di Pesantren yang dapat mengintegrasikan
pelajaran ( agama dan umum ) ke dalam kehidupan mereka sehari-hari. Ini juga
berakibat terbukanya sistem belajar yang luas dan fleksibel, karena pada
hakikatnya semua aktifitas
sehari-hari di Pesantren yang memacu kehidupan mandiri itu adalah
belajar ( Wolfgang Karcher, log.cit ). Dalam kaitan ini, pimpinan Pondok modern
Gontor pernah mengatakan kepada penulis waktu berkunjung ke sana, bahwa
“kurikulum di Pesantren ini 100 % agama dan 100 % pengetahuan umum”.
Dengan adanya uluran tangan Prof. Habibie yang
menawarkan pemasukan teknologi ke dalam Pondok Pesantren dan dengan beberapa
inovasi yang diperlukan, kiranya potensi Pondok Pesantren dapat dikembangkan
secara optimal.
B. Dampak Konsep Yang Dihasilkan Oleh Zaman Orde Baru
Apabila kita berbicara mengenai pendidikan Islam maka
kita akan membicarakan mengenai pesantren dan madrasah. Menurut para pakar
pendidikan Islam bentuk pendidikan yang indigenous adalah pesantren yang
telah hidup dan berada di dalam budaya Indonesia sejak zaman prasejarah
yang kemudian dilanjutkan pada masa Hindu-Budha dan diteruskan pada masa
kebudayaan Islam. Madrasah adalah bentuk pendidikan klasikal yang masuk ke Indonesia sejalan dengan arus
modernisasi Islam. Pesantren yang mempunyai pengertian archaic, juga
mempunyai konotasi kemasyarakatan, bahkan suatu kesatuan ekonomis dan mungkin
pula politik selain daripada suatu masyarakat pendidikan dengan nuansa agama.
Madrasah juga lebih berkonotasi kepada cara penyampaian ilmu maupun agama
secara klasikal dan lebih modern. Namun keduanya mempunyai kesamaan yaitu telah
tumbuh dan dimiliki oleh masyarakat sekitar terutama di daerah pedesaan karena
pengaruh historis. Oleh sebab itu pendidikan pesantren dan madrasah cenderung bersifat
tradisional dan ortodoks sungguh pun tidak selalu benar sebagaimana yang kita
lihat di dalam perkembangan pesantren modern seperti Pesantren Tebuireng.
Pesantren dan madrasah adalah milik kebudayaan Indonesia. Dan
oleh karena pendidikan adalah sebenarnya merupakan gagasan kebudayaan, maka
mendidik berarti pula menggagas kebudayaan masa depan. Di sinilah letaknya arti
pesantren di dalam membangun kebudayaan masa depan. Seperti Malik Fadjar
mengatakan gelombang peradaban masa depan merupakan satu kesatuand ari gejolak
magma cultural dari dalam dan kekuatan globalisasi yang menerjang dari luar.
Kehidupan pesantren masa depan tidak terlepas dari kedua gelombang peradaban
ini. pendidikan pesantren akan survise dan menjadi pendidikan alternatif
dari masyarakat Indonesia
apabila dia peka terhadap gelombang peradaban tersebut. Oleh karena itu perlu
kita kaji apa yang merupakan kekuatan dan kelemahan dari pendidikan pesantren
dan madrasah.
1. Kelebihan Pendidikan Islam : Pendidikan Yang Lahir Dari Masyarakat
Dalam
era reformasi dewasa ini dan sejalan dengan gelombang demokratisasi di dunia
dan di Indonesia
maka kita berbicara mengenai tuntutan hak rakyat termasuk pendidikan. Demokrasi
hanya akan lahir dan berkembang apabila rakyat diberdayakan dan masyarakat ikut
serta di dalam memberdayakan diri sendiri. Pesantren adalah suatu sistem
kehidupan yang lahir dan dibesarkan dalam suatu masyarakat. Pesantren telah
lahir di dalam suatu masyarakat demokratis. Oleh sebab itu pesantren sebenarnya
dikelola oleh masyarakat yang memilikinya. Meskipun di dalam perkembangannya
pengelolaan pesantren banyak ditentukan oleh para kiai sebagai pemiliknya,
namun tidak dapat disangkal bahwa kehidupan pesantren telah ditopang dan
dibesarkan oleh masyarakat yang memilikinya.
Apabila dewasa ini kita berbicara mengenai inovasi
pendidikan nasional untuk melahirkan pendidikan yang dikelola oleh
masyarakat ( community
– based management ( CBM ) maka pesantren merupakan model archaic
dari pendidikan tersebut. Sudah tentu prinsip-prinsip manajemen modern perlu
diterapkan di dalam pola pendidikan yang berdasarkan manajemen masyarakat. Pada
akhirnya community – based management dari pendidikan akan bermuara
kepada manajemen sekolah ( school – based management ( SBM ) atau
manajemen madrasah yang berarti pengelolaan lembaga pendidikan madrasah adalah
pengelolaan yang otonom yang mengimplementasikan aktivitas dan kreativitas para
pengelolanya baik kepala sekolahnya maupun para gurunya di dalam melaksanakan
misi sekolah. Tentunya manajemen pendidikan CBM dan SBM menuntut para pengelola
yang mempunyai pandangan yang luas serta menguasai teknik-teknik manajemen
modern, termasuk manajemen sekolah.
2. Kelemahan : Cenderung Kepada Ortodoksi
Apabila kita teliti kekuatan dari pendidikan pesantren
dan madrasah justru disitulah pula terletak kelemahannya. Dalam perjalanan
sejarah, sistem pendidikan pesantren dan madrasah telah terlempar dari mainstream
pendidikan baik pada masa kolonial, masa pendudukan Jepang, maupun pada masa
kemerdekaan. Kelemahannya terletak kepada keunikannya bahwa pesantren dan
madrasah tumbuh dari bawah, dari masyarakat sendiri. Di dalam pertumbuhannya
tersebut yang hidup dari kemampuan sendiri di tengah-tengah masyarakat
yang miskin sudah tentu perkembangan pendidikan pesantren dan madrasah berada
di dalam kondisi yang serba sulit. Keadaan ini pula yang telah melahirkan suatu
defense mechanism untuk mengungkung diri dari pengaruh luar. Kecurigaan
yang berlebihan menyebabkan isolasi dan menolak perubahan. Isolasionisme ini
juga diperkuat lagi dengan sifat keragaman dari pendidikan pesantren dan
madrasah. Pengelolaan pesantren dan madrasah yang berorientasi kepada
masyarakat telah melahirkan keanekaragaman pengelolaan sehingga sulit untuk dicarikan
standar untuk meningkatkan mutu. Di dalam menghadapi tuntutan dunia modern
karena standar-standar tertentu diperlukan maka pengelolaan pendidikan
pesantren dan madrasah perlu disesuaikan agar lebih peka menyerap dan
meningkatkan kemampuan dari lembaga tersebut di dalam kehidupan global
yang penuh persaingan.
Sungguhpun terdapat kekuatan dan kelemahan dari sistem
pendidikan pesantren dan madrasah, tentunya tidak dapat kita generalisasikan.
Sebagai ilustrasi bagaimana lahir dan berkembangnya Pondok Pesantren Tebuireng
yang berkembang di tengah-tengah kemajuan teknologi di sekitar pabrik gula di
desa Cukir sekitar Jombang. Menyadari akan kemajuan ilmu dan teknologi, Pondok
Pesantren Gontor sangat kreatif dan adaptif untuk menyerap nilai-nilai yang
baru tanpa meninggalkan ciri khas dari pendidikan pesantren. Ternyata kekutan
pesantren dapat dilestarikan apabila di kelola dengan cara-cara yang inovatif
dan kreatif serta sensitif terhadap tuntutan perubahan.
Sesuai dengan permasalahannya, menurut pendapat
penulis pengelolaan pendidikan Islam meliputi empat bidang prioritas yaitu :
1)
Peningkatan kualitas,
2)
Pengembangan invonasi dan kreativitas,
3)
Membangun jaringan kerja sama ( networking ),
dan
4)
Pelaksanaan otonomi daerah.
BAB III
KESIMPULAN
Dalam masa Orde Baru masyarakat
dan bangsa Indonesia sedang
menapak untuk mewujudkan masyarakat Indonesia baru yang mencakup dua
aspek :
1)
Mengatasi krisis nasional yang berkepanjangan dengan
membagnun kembali masyarakat dan bangsa yang demokratis,
2)
Mempersiapkan masyarakat dan bangsa Indonesia dalam
kehidupan masyarakat baru tersebut.
Keadaan ini menuntut reposisi madrasah sebagai salah satu wadah
pengembangan generasi muda sesuai dengan perubahan visi dan misi kehidupan
bangsa dalam era reformasi dengan mengaktualisasikan potensi-potensi positif
yang dimiliki madrasah. Madrasah sebagai lembaga pendidikan yang berciri khas
Islam sangat menarik perhatian dalam rangka melaksanakan cita-cita pendidikan
nasional, oleh karena bukan saja jumlah peserta didiknya yang signifikan tetapi
juga karena karakteristik madrasah sangat sesuai dengan cita-cita reformasi.
Dilihat dari segi ini peranan madrasah sangat menonjol oleh karena : pertama,
pendidikan di madrasah yang selama ini seakan-akan tersisih dari mainstream
pendidikan nasional namun berkenaan dengan pendidikan anak bangsa; kedua,
madrasah sebagai pendatang baru dalam sistem pendidikan nasional relatif
menghadapi berbagai masalah dan kendala di dalam hal mutu, manajemen, termasuk
masalah kurikulumnya. Namun demikian madrasah mempunyai potensi atau
nilai-nilai positif oleh karena madrasah sarat akan nilai-nilai budaya bangsa.
Nilai-nilai positif madrasah yang sesuai dengan gerakan reformasi telah
tertampung dalam rumusan visi dan misi pembangunan nasional.
Di dalam perkembangannya yang panjang dari kehidupan madrasah di dalam
kehidupan bangsa Indonesia,
banyak hal-hal positif maupun negatif yang telah lahir di dalam sejarah
keberadaannya. Analisis mengenai kekuatan, kelemahan, anomali-anomali kebijakan
yang terjadi hingga saat ini mengharuskan madrasah merumuskan kembali paradigma
baru agar peran madrasah lebih tajam dan terarah di dalam memasuki millennium
ketiga yang penuh dengan tantangan. Selanjutnya prospek madrasah masa depan
yang cerah haruslah dipersiapkan untuk memenuhi tuntutan-tuntutan global.
Tuntutan-tuntutan tersebut sebagian besar merupakan reaktualisasi potensi
madrasah yang kaya dalam pengalaman terutama di dalam memenuhi kebutuhan
masyarakat serta memberdayakan masyarakat, ditambah pula dengan tradisi ikut
sertanya masyarakat di dalam pembinaan, penyelenggaraan dan pemanfaatan
hasil-hasil lembaga pendidikan madrasah.
Dengan rumusan reposisi madrasah yang disesuaikan dengan visi dan misi
pembangunan nasional, serta pemanfaatan prospek madrasah dengan nilai-nilainya
yang positif dalam memenuhi tuntutan masyarakat Indonesia baru dan masyarakat
global, maka dapatlah disusun kurikulum madrasah yang realistis sesuai dengan
kebutuhan dinamika masyarakat Indonesia.
Ada dua hal yang sangat penting dikemukakan
di dalam pembangunan pendidikan nasional, yaitu :
a)
Lembaga pendidikan sebagai pusat pembudayaan nilai, dan
b)
Prinsip-prinsip pengelolaan pendidikan yaitu
desentralisasi serta pengakuan kembali terhadap otonomi keilmuan serta
manajemen yang efisien dan efektif.
Apabila disimak bersama, sebenarnya UUSPN No. 2 Tahun 1989 mengandung
mutiara-mutiara yang baik dilihat dari segi pendidikan. Namun di dalam
penyelenggarannya dan manajemennya memang cenderung kepada sentralisme. Hasil
dari sistem pendidikan yang demikian adalah tercabutnya pendidikan dari
kebudayaan. Antara undang-undang dengan pelaksanaannya terdapat ketidaksesuaian
oleh karena pendidikan telah menjadi alat politik atau lebih tepat lagi menjadi
alat politik penguasa. Sebenarnya, di dalam undang-undang tersebut ditekankan
tentang pentingnya peran serta masyarakat ( Pasal 47 ). Demikian pula
ditekankan bahwa pendidikan nasional berakar pada kebudayaan nasional namun di
dalam pelaksanannya telah terlepas dari kebudayaan. Di dalam PP No. 29 Tahun 1990
dijelaskan bahwa praksis pendidikan haruslah didasarkan kepada wawasan
Wiyatamandala ( PP No. 29 Tahun 1990, pasal 10 ). Wawasan Wiyatamandala antara
lain menyatakan bahwa sekolah harus bertumpu pada masyarakat sekitarnya dan
mendukung kerukunan antara warga sekolah. Berdasarkan pengamatan ini, juga
dengan lahirnya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, sudah pada
waktunya untuk meninjau kembali bahkan kalau perlu mengganti UUSPN No. 2 Tahun
1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, agar praksis pendidikan lebih sesuai
dengan dinamika kehidupan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
GBHN 1983, Jakarta.
GBHN 1999, Jakarta.
UUSPN No. 2
Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
UUSPN No. 22
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Prof. Dr. Tilaar, Msc, Ed, Paradigma Baru
Pendidikan Nasional, Jakarta
: Rineka Cipta, 2000.
Majalah Rindang,
No. 1 Tahun XXIX Agustus 2003.
Malik Fadjar, Visi
Pembaharuan Pendidikan Islam, Jakarta
: tp, 1998.
Zuharsini, dkk, Metodik
Khusus Pendidikan Agama, Malang
: IAIN Walisongo, 1983.
“Aku berpikir” maka “Aku Ada”. Ada 3 hal disitu yaitu (1) Aku; (2) Berpikir; dan (3) Ada. Jika dicermati maka penentuan “aku” dan “keakuan” serta “ada” dan “keberadaan” semuanya hanya bisa dilakukan dengan cara “berpikir” dan “pikiran“.
Intinya begini, “aku dan keberadaan aku” adalah proses/hasil/tujuan dari pemikiran dan proses berpikir. Pemikiranlah yang menentukan siapa diri sendiri. Istilah lainnya, proses berpikir yang sering dinamakan rasio, akal, logika, dan nalar patut dipuja dan disembah karena disitulah letak seluruh hidup dan keberadaan seseorang. Getit ?
Juga dengan implikasi lain : apapun yang memiliki kategori “berpikir” maka dia “ada” (exist). Btw, saya jadi bertanya, apakah saya exist karena saya sering melakukan sesuatu “tanpa berpikir” ? Atau kata teman: labrak dulu, mikir belakangan.
Langganan:
Postingan (Atom)